Rabu, 26 November 2008

sajarah

PENJELASAN PRASASTI HULU DAYEUH


Sejarah Jawa Barat hingga kini memang masih agak gelap, bila

dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Nusantara. Oleh karena itu

setiap temuan arkeologi dari Jawa Barat senantiasa mengundang

perhatian dan rasa penasaran para pakar kebudayaan yang menggumuli

masalah sejarah Sunda (Jawa Barat).

Untuk itu saya mengemukakan beberapa hal yang berkenaan dengan

Prasasti Hulu Dayeuy yang diungkapkan oleh Bapak Muchtar MS (Kepala

Seksi Kebudayaan, Kndep Dikbud Cirebon) kepada wartawan yang telah

dimuat beberapa waktu lalu dalam Kompas, Selasa 31 Desember

1991 (pada halaman 12, kolom 1-3).

Prasasti Hulu Dayeuh tersebut bukan berasal dari (Predu)

Ratudewata, tetapi kemungkinan ada hubungannya dengan Jayadewata

(Raja Pakwan-Pajajaran abad ke-15 Masehi). Raja ini sama dengan Sri

Baduga Maharaja atau Raden pamanah Rasa alias Sang Udubasu di dlam

Carita Parahiyangan, sesuai dengan yang disebutkan dalam rasasti

Hulu Dayeuy itu sendiri (baris ke-11). Tetapi belum berarti bahwa

prasasti tersebut dikeluarkan oleh Raja Jayadewata.

Pelru kiranya diketahui bahwa Jayadewata tidak sama dengan

Ratudewata. Kedua raja ini memerintah di Pakwan-Pajajaran tetapi

personilnya berbeda. Bila Jayadewata memerintah pada tahun 1482-1521

Masehi (39 tahun) maka (Prebu) Ratudewata memegang tampuk Pakwan-

Pajajaran tahun 1535-1543 Masehi (8 tahun).

Bagian atas batu yang diduga mencantumkan pertanggalan prasasti

tesebut patah, dan aksaranya pun turut hilang serta sebagian lagi ad

ayang aur, sehingga kronologi prasasti belum dapat diketahui dengan

pasti. Keausan aksara itu mungkin karena semula letak batu

prasastinya terbalik dengan posisi bagian atas tertanam dalam tanah,

namun kini batu tesebut telah diletakkan sebagaimana mestinya.

Bentuk hurufnya diketahui beraksasa Pasca Pallava, mirip dengan

aksara dalam prasasti-prasasti masa Kayuwangi-Balitung (abad ke 9-10

Masehi), bukan Kayuwanci-Belitung seperti berita terdahulu.

Demikianlah ralat ini, dan sama sekali tidak dimaksudkan

menyinggung perasaan Bapak Muchtar MS, hanya sekadar membenarkan apa

yang mungkin dapat menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan, dalam

menginterpretasikan sejarah Jawa Barat, khususnya yang berkaitan

dengan Prasasti Hulu Dayeuh.

Dalam hal ini saya merasa bertanggungjawab karena saya yang

mengatakan keterangan di atas secara lisan kepada Bapak Muchtar MS

ketika mengadakan penelitian arkeologi di daerah Sumber, Cirebon.


kutipan koran

SEJARAH PASUNDAN MULAI TERKUAK


Prasasti koleksi Museum Adam Malik Jakarta, ikut memperkuat

dugaan adanya kesinambungan Kerajaan Pasundan dengan Kerajaan

Mataram Hindu di Jawa Tengah. Bahkan bila dikaitkan dengan temuan -

temuan prasasti di Jawa Barat termasuk temuan tahun 90-an, prasasti

ini ikut memberi titik terang sejarah klasik di Tanah Pasundan yang

selama ini masih gelap.

Kepala Bidang Arkeologi Klasik pusat Penelitian Arkeologi

Nasional (Puslit Arkenas) Dr Endang Sri Hadiati didampingi peneliti

arkeologi spesialis Sunda, Richadiana Kartakusuma SU, mengemukakan

itu saat ditemui Kompas di ruang kerjanya di Jakarta, Senin (20/2).

Keduanya ditemui dalam kaitan dengan Sejarah Klasik Sunda yang

selama ini masih gelap, bila dibanding dengan sejarah klasik di Jawa

Tengah, yang telah mampu memberikan sejarah lebih runtut.

Bila benar dugaan adanya kesinambungan antara Raja Sunda dan

Jawa Tengah ini, maka ini merupakan asumsi sejarah baru dalam perkembangan

sejarah nasional selama ini. Endang Sri Hadiati menyatakan,

kesinambungan atau adanya dugaan hubungan antara Kerajaan Pasundan

dan kerajaan di Jawa Tengah itu disebut-sebut dalam lontar Carita

Parahiyangan yang ditemukan Ciamis, Jawa Barat.

Lontar yang ditemukan tahun 1962 ini mengisahkan tentang

raja-raja Tanah Galuh Jawa Barat. Salah satu lontar dari Carita

Parahiyangan yang belum diketahui angka tahunnya itu di antaranya

menyebut nama Sanjaya sebagai pencetus generasi baru yang dikenal

dengan Dewa Raja.

Apa yang disebut dalam Carita Parahiyangan, menurut Richadiana,

ada kesamaan makna dengan prasasti yang ditemukan di Gunung Wukir,

yang berada di antara daerah Sleman dan Magelang (Jawa Tengah).

Prasasti batu abad VII yang kemudian disebut sebagai Prasasti

Canggal itu secara jelas menyebut, bahwa di wilayah itu telah

berdiri wangsa atau kerajaan baru dengan Sanjaya nama rajanya, atau

dikenal kemudian sebagai Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya.

"Saya belum berani memastikan adanya kesinambungan Raja Sunda

dan Jawa. Yang pasti, Carita Parihiyangan yang berisi tentang cerita

raja-raja Galuh itu, salah satunya menyebut nama Sanjaya yang

membuat kerajaan baru, dan itu sama persis yang disebutkan dalam

prasasti Canggal di Jawa Tengah," tegas Richadiana.

Menurut Richadiana, dugaan itu diperkuat pula dengan prasasti

yang dikoleksi oleh Adam Malik (almarhum), yang dikenal dengan

prasasti Sragen (ditemukan di Sragen Jateng). Richadiana tidak tahu

persis kapan prasasti itu dikoleksi Adam Malik. Yang pasti, prasasti

itu isinya juga bisa menjadi fakta adanya dugaan kesinambungan

antara Kerajaan Pasundan dan Jawa.

Dua abad hilang

Endang Sri Hadiati dan Richadiana mengakui, sejarah Pasundan

memang masih gelap, artinya belum mempunyai alur sejarah yang

mendekati pasti.

"Tonggak sejarah klasik Jawa Barat hanya pada 6 buah prasasti

Raja Tarumanegara sekitar abad V. Temuan prasati lain tidak

mendukung adanya kelanjutan sejarah, karena selisih waktunya

berabad-abad," tandasnya.

Namun begitu, jika dicermati dan dikaitkan dengan temuan tahun

90-an ini, sebenarnya hanya rentang waktu dua abad saja sejarah

Klasik Sunda yang hilang, bila dihitung sejak Raja Tarumanegara,

yaitu antara abad ke V - VII.

Richadiana mengatakan, setelah abad Raja Tarumanegara V sampai

abad ke VII memang tidak ditemukan prasasti. Namun lontar Carita

Parahiyangan mengisahkan adanya kehidupan raja-raja di Tanah Galuh

pada abad VII, disusul kemudian adanya temuan prasasti abad VIII

Juru Pangambat. Prasasti ini ditemukan di seputar prasasti

Tarumanegara, yang mengisahkan tentang adanya seorang pejabat tinggi

yang bernama Rakai Juru Pangambat.

Menurut Richadiana, prasasti Huludayueh yang ditemukan di

Cirebon tahun 1990 mengisahkan bahwa antara abad 10 sampai 12 hidup

seorang Raja bernama Pakuan. Sebelum itu ditemukan prasasti di

Tasikmalaya yang dikenal dengan prasasti Rumatak. Prasasti berangka

tahun 1.030 ini mengisahkan bahwa pada masa itu hidup seorang Raja

Jaya Bupati.

"Sebenarnya kalau kita runut prasasti-prasasti itu sudah

mengindikasikan adanya urutan sejarah klasik Sunda. Tidak ada

peminat yang mempelajari sejarah klasik orang Sunda, selain orang

Sunda sendiri. Itu yang menyebabkan sejarah Sunda seperti merana,"

tegasnya

MENCARI SEJARAH SUNDA

Parakanca sadayana nu aya di milis urang sunda,
Naha naon atuh ari batasan Urang Sunda teh.....????
Kang Nurdamai..
Kabingungan urang Sunda nu teras tumaros "asal-usul" urang Sunda teh sanes kabingungan akang, namung tos janteng kabingungan urang sunda sadaya. Komo generasi muda mah...wah, tong boro asal-usul "bangsa" na...mun ditaros pancakaki saha aki, uyut dugi ka luhurnya deui pasti ting haruleng. Upami minat mah ieu aya tilu kliping koran soal "sunda", Mung bahasa Indonesia,,tadina mah bade ditarjamahkeun kana basa sunda ku sim kuring. Na nembe ge dua alinea kalahka lieur sorangan. ..atuh niatan narjamahkeun teh teu diteraskan. Salengkepna mah kliping teh ngahaja ku sim kuring di attachment.