PENJELASAN PRASASTI HULU DAYEUH
Sejarah Jawa Barat hingga kini memang masih agak gelap, bila
dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Nusantara. Oleh karena itu
setiap temuan arkeologi dari Jawa Barat senantiasa mengundang
perhatian dan rasa penasaran para pakar kebudayaan yang menggumuli
masalah sejarah Sunda (Jawa Barat).
Untuk itu saya mengemukakan beberapa hal yang berkenaan dengan
Prasasti Hulu Dayeuy yang diungkapkan oleh Bapak Muchtar MS (Kepala
Seksi Kebudayaan, Kndep Dikbud Cirebon) kepada wartawan yang telah
dimuat beberapa waktu lalu dalam Kompas, Selasa 31 Desember
1991 (pada halaman 12, kolom 1-3).
Prasasti Hulu Dayeuh tersebut bukan berasal dari (Predu)
Ratudewata, tetapi kemungkinan ada hubungannya dengan Jayadewata
(Raja Pakwan-Pajajaran abad ke-15 Masehi). Raja ini sama dengan Sri
Baduga Maharaja atau Raden pamanah Rasa alias Sang Udubasu di dlam
Carita Parahiyangan, sesuai dengan yang disebutkan dalam rasasti
Hulu Dayeuy itu sendiri (baris ke-11). Tetapi belum berarti bahwa
prasasti tersebut dikeluarkan oleh Raja Jayadewata.
Pelru kiranya diketahui bahwa Jayadewata tidak sama dengan
Ratudewata. Kedua raja ini memerintah di Pakwan-Pajajaran tetapi
personilnya berbeda. Bila Jayadewata memerintah pada tahun 1482-1521
Masehi (39 tahun) maka (Prebu) Ratudewata memegang tampuk Pakwan-
Pajajaran tahun 1535-1543 Masehi (8 tahun).
Bagian atas batu yang diduga mencantumkan pertanggalan prasasti
tesebut patah, dan aksaranya pun turut hilang serta sebagian lagi ad
ayang aur, sehingga kronologi prasasti belum dapat diketahui dengan
pasti. Keausan aksara itu mungkin karena semula letak batu
prasastinya terbalik dengan posisi bagian atas tertanam dalam tanah,
namun kini batu tesebut telah diletakkan sebagaimana mestinya.
Bentuk hurufnya diketahui beraksasa Pasca Pallava, mirip dengan
aksara dalam prasasti-prasasti masa Kayuwangi-Balitung (abad ke 9-10
Masehi), bukan Kayuwanci-Belitung seperti berita terdahulu.
Demikianlah ralat ini, dan sama sekali tidak dimaksudkan
menyinggung perasaan Bapak Muchtar MS, hanya sekadar membenarkan apa
yang mungkin dapat menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan, dalam
menginterpretasikan sejarah Jawa Barat, khususnya yang berkaitan
dengan Prasasti Hulu Dayeuh.
Dalam hal ini saya merasa bertanggungjawab karena saya yang
mengatakan keterangan di atas secara lisan kepada Bapak Muchtar MS
ketika mengadakan penelitian arkeologi di daerah Sumber, Cirebon.